Mengapa Keputusan Kelompok seringkali Kurang Memuaskan ?
Hambatan dalam Pengambilan Keputusan Kelompok Kerja ?
Pada awal tahun anggaran, kita biasanya mengadakan rapat guna mempersiapkan pelaksanaan kegiatan. Untuk kegiatan rutin atau kegiatan yang pernah dilakukan pada tahun sebelumnya, tidak banyak masalah yang dibahas. Tinggal evaluasi kegiatan tahun kemaren, sedikit perbaikan disana-sini…yak…oke…kegiatan dapat segera dilaksanakan dan rapat bisa cepat selesai. Tetapi untuk kegiatan yang relatif baru, sudah lama tidak dilaksanakan, apalagi belum pernah dilaksanakan, banyak sekali masalah yang akan dibahas sehingga rapat akan menjadi sangat lama, banyak perdebatan, banyak diskusi, melelahkan….tetapi kadang-kadang hasilnya kurang memuaskan bagi Anda. Kadang Anda ingin berontak, atau protes…. berusaha mengajukan berbagai argumen….tetapi mau bagaimana lagi. Itu telah menjadi keputusan tim dan telah dilakukan secara demokratis. Lalu bagaimana dengan Anda ? Apa Anda tetep bergabung dalam tim kerja atau malah mungkin minta dicoret dari daftar panitia ?
Michael West dalam bukunya Effective Teamwork menjelaskan bahwa pada dasarnya pengambilan keputusan kelompok itu secara kualitas hasilnya cenderung lebih baik daripada rata-rata keputusan yang diambil oleh setiap anggota, namun kualitasnya tetap dibawah keputusan yang diambil oleh anggota terbaik. Mengapa demikian ? Banyak hasil penelitian membuktikan bahwa ada fenomena psikologis yang disebut dengan ’keengganan sosial’ (social loafing) yang menyebabkan setiap individu kurang berupaya secara sungguh-sungguh atau tidak mengeluarkan kemampuan maksimalnya jika bekerja dalam sebuah tim. Nah menurut pengamatan Anda, apakah setiap peserta rapat sudah mengeluarkan kemampuan terbaiknya ?
Disamping social loafing, ada banyak faktor yang menyebabkan keputusan kelompok menjadi kurang optimal. Para ahli perilaku organisasi dan psikologi sosial telah mengidentifikasi proses sosial yang mengakibatkan kekurangan kualitas dalam proses pengambilan keputusan kelompok, sebagai berikut :
- Faktor-faktor Kepribadian, faktor malu terutama pada PNS yang masih baru, masih junior atau habis mutasi dari unit kerja lain, menjadi penghambat dalam mengutarakan pendapat dalam suatu rapat. Padahal teorinya orang baru dapat juga dianggap sebagai age of change dari suatu organisasi. Tetapi budaya kita seringkali memaksa orang baru untuk lebih banyak diam daripada dianggap lancang atau ’keminter’ oleh teman sekerja lain.
- Efek Kemapanan Sosial, atau ikut dengan suara mayoritas juga menjadi penghambat dalam menghasilkan keputusan kelompok yang berkualitas. Budaya PNS, yang cenderung suka keseragaman daripada keragaman, menjadi faktor utama munculnya efek ini. Orang yang berbeda pendapat dianggap orang aneh, tidak loyal, tukang protes walaupun pendapatnya belum tentu salah. Kadang kita lupa dengan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” yang cenderung memandang keragaman mendatangkan suatu karomah daripada membawa musibah.
- Faktor Ketrampilan Komunikasi. Ini juga termasuk salah satu penyakit rapat kita. Dimana banyak orang yang angkat bicara dalam rapat hanya sekedar untuk ’tampil’. Padahal kalau kita telaah kadang-kadang dia hanya orang yang ’pintar bicara’ saja sementara substansinya tidak jelas. Bahayanya jika orang seperti itu mendominasi jalannya rapat sehingga secara otomatis keputusan rapat akan tergantung pada si ’tong kosong nyaring bunyinya’ itu.
- Faktor Egosentris. Di kalangan instansi pemerintah kondisi ini yang paling dominan. Suara pejabat, apalagi yang senior, biasanya lebih didengar bahkan kadang harus dijadikan keputusan rapat. Kalau seperti itu, buat apa kita capek-capek rapat ?
- Dampak Status dan Hierarki. Hampir mirip dengan faktor egosentris tetapi lebih bersifat dari luar, yakni kecenderungan budaya kita yang menganggap penampilan lebih utama daripada ’content’. Sehingga orang yang berpenampilan necis, berwibawa, keren atau mungkin pejabat dari pusat dianggap lebih tahu (apalagi kalau kita lihat bule….orang istimewa deh mereka. Tapi kalau orang hitam dari afrika ?! Walaupun dia seorang Doktor, kesan kita dia tetap….. ).
- Resiko Perubahan. Keputusan kelompok umumnya mengambil jalan yang paling aman, menghindari resiko. Padahal dari realita kehidupan terlihat bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi, umumnya juga gajinya tinggi-tinggi. Dengan kata lain...keputusan yang aman biasanya bukan merupakan keputusan terbaik...........
- Fenomena Groupthink. Fenomena ini biasanya terjadi dalam unit kerja yang memiliki refleksivitas sosial tingga atau sangat akrab. Sehingga dalam pengambilan keputusan lebih mengutamakan kesepakatan daripada kualitas keputusan itu sendiri. Mau membantah pa lagi sampai berbeda pendapat ? Tidak enak….maklum sama temen sendiri…
- Dampak Keengganan Sosial. Kadang-kadang terjadi (atau sering ?) ide yang dikeluarkan oleh seorang staf, saat berhasil dan dipuji oleh ’big boss’, diaku sebagai keputusan rapat atau malah diaku hasil pemikiran pemimpin rapat yang notabene pejabat pada unit kerja itu. Hal ini tentu saja sangat mengecewakan bagi staf pencetus ide, sehingga pada rapat berikutnya dia tidak akan mengeluarkan ide-idenya yang cemerlang buat kemajuan organisasi.
- Kerancuan Tanggung Jawab. Ini efek dari budaya kambing hitam di lingkungan kerja PNS. Kalau idenya seorang staf berhasil, dianggap sebagai hasil keputusan rapat sehingga tidak akan ada ucapan terimakasih dari pimpinan….Tetapi begitu idenya tidak berjalan baik, semua orang menyalahkan staf pencetus ide, seolah-olah dialah biang keladi kesalahan itu. Padahal sebelum diputuskan ide itu telah dibahas dan disetujui dalam rapat. Dan disamping itu mungkin saja bukan idenya yang salah tetapi seringkali pelaksanaan kegiatannya, akibat berbagai kendala teknis or non teknis, yang menyimpang dari rencana semula (menurut saya sih seringkali begitu. Indonesia itu banyak sekali pemikir hebat tetapi kekurangan orang-orang yang bisa mengimplementasikan dalam kegiatan riil di lapangan…)
- Efek Hambatan Produksi (Production Blocking). Hal ini merupakan akumulasi dari seluruh uraian diatas, yakni terjadi penurunan produktivitas jika keputusan itu diserahkan pada keputusan kelompok.........disamping kelemahan dari Tim itu sendiri, yakni kurang mampu mengakomodasi kreativitas individu.
Bagaimana ? Apakah uraian diatas dapat meredam kemarahan Anda ? Dengan bersifat empathy terhadap masing-masing individu dalam rapat, saya kira dapat meredam emosi Anda. Saran saya tentu saja Anda tetap ikut dalam kegiatan tersebut secara aktif. Maksudnya ? Disamping melaksanakan kegiatan sesuai keputusan rapat, Anda sekaligus berfungsi sebagai evaluator guna memantau kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Kalau kegiatan itu ternyata sukses dan terlaksana sesuai rencana, mungkin Anda perlu merenung. Apakah Anda termasuk orang terbaik dalam rapat, ataukah Anda sekedar anggota biasa yang mungkin termasuk orang ’sulit’…..